Menurut pengajar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto ini, dalam merumuskan tindak pidana harus dipertimbangkan tiga hal. Pertama moralitas institusional yaitu Pancasila, kedua social institusional yaitu masyarakat dan ketiga civil institusional atau pribadi masing-masing warga.
"Bisa jadi kumpul kebo bagi pribadi tidak masalah karena tidak merugikan siapa pun. Tapi dalam kacamata Pancasila dan masyarakat ini masih dinilai melanggar rasa keadilan terutama lembaga perkawinan. Sehingga kriminalisasi kumpul kebo bisa diterapkan," cetus ahli pidana yang baru saja selesai mengikuti tes tertulis seleksi hakim agung di Megamendung, Bogor, ini.
KUHP yang masih berlaku di Indonesia saat ini tidak mengkriminalisasi kumpul kebo karena berasal dari Belanda. Sebab KUHP cermin budaya Belanda yang individualis dan masalah seksual adalah masalah masing-masing warga sepanjang tidak mengganggu orang lain.
"Lalu apakah budaya mereka dengan kita? Nanti dulu. Kita beda dengan Belanda. Oleh sebab itu, jika ingin melihat peradaban suatu bangsa, lihatlah rumusan hukum pidananya seperti apa," tutur Kuat.
Sebagai sebuah peradaban bangsa, maka harus dilembagakan. Mahkamah Agung (MA) nantinya berkewajiban menjaga norma-norma peradaban bangsa tersebut. "Hakim agung harus menjaga peradaban bangsa tersebut," tegasnya.
Belanda tidak memidana pasangan kumpul kebo tercermin dalam KUHP yang berlaku saat ini. KUHP itu dibuat pada 1830 dan dibawa ke Indonesia pada 1872. Pemerintah kolonial memberlakukan KUHP secara nasional di Indonesia pada 1918 hingga sekarang.
Namun ketentuan tersebut direvisi dalam Rancangan KUHP. Pasal 485 Rancangan KUHP menyebutkan Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana paling banyak Rp 30 juta . Hukuman ini bersifat alternatif yaitu hakim dapat memilih apakah dipidana atau didenda.
Bahaya Kumpul Kebo kena Pasal KUHP
4/
5
Oleh
I Wayan Budiana